Di Bawah Bayang-Bayang Pajak: Warisan Kolonial yang Tak Kunjung Sirna

Pengantar

Di bawah langit merdeka yang biru, kita hidup dengan kenangan yang tak selalu menyenangkan. Ada jejak-jejak masa lalu yang tetap hadir, tak peduli seberapa jauh kita berusaha melupakannya. Pajak, instrumen yang seharusnya menjadi tulang punggung bagi kesejahteraan negeri, kadang terasa seperti bayang-bayang gelap yang tak kunjung pergi. Bayang-bayang itu seolah membawa kita kembali ke masa ketika tanah air ini masih di bawah cengkeraman kekuasaan asing, di mana rakyat dipaksa menyerahkan hasil kerja keras mereka tanpa ada keadilan. Dan kini, meski penjajahan fisik telah berakhir, aroma kolonialisme itu tetap menyusup dalam setiap angka yang tertulis di lembaran pajak.

Jejak Kolonial dalam Pajak

Sistem perpajakan kita lahir dari rahim penjajahan. Ketika Belanda menancapkan kekuasaan mereka di negeri ini, pajak menjadi alat untuk menguras kekayaan alam sekaligus tenaga rakyat. Pajak tanah dan tanam paksa hanyalah dua dari sekian banyak kebijakan yang diatur untuk kepentingan penjajah, meninggalkan luka yang mendalam di hati rakyat. Luka itu, meski tak terlihat, masih terasa hingga kini, membekas dalam sistem yang kita warisi dan masih kita gunakan.

Ibnu Khaldun, seorang pemikir besar dari masa lalu, pernah mengingatkan bahwa beban pajak yang terlalu berat akan memadamkan semangat dan produktivitas masyarakat. Ia berujar dalam Muqaddimah, bahwa negara akan jatuh ketika rakyat merasa terbebani oleh pajak yang tidak adil. Kata-katanya kini terasa begitu relevan, seolah menggambarkan apa yang dirasakan oleh banyak orang di negeri ini. Pajak, bagi mereka yang tak mampu, bukanlah sekadar kewajiban, tetapi sebuah beban yang menyesakkan dada.

Menggali Kedalaman Teori Keadilan

Ibnu Khaldun, dalam kejeniusannya, menyadari bahwa kesejahteraan rakyat bergantung pada keadilan yang diterapkan dalam setiap kebijakan, termasuk dalam hal pajak. Pajak yang adil, menurutnya, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan, bukan semata-mata untuk memenuhi kas negara. Di sini, kita bisa melihat betapa pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa, sesuatu yang juga diakui dalam berbagai teori modern. John Rawls, misalnya, dalam bukunya A Theory of Justice, menekankan bahwa keadilan harus menjadi dasar dalam pendistribusian sumber daya, agar semua orang, termasuk mereka yang paling rentan, dapat merasakan manfaat yang setara.

Namun, apakah keadilan itu yang kita rasakan dalam sistem pajak kita saat ini? Banyak yang akan menjawab tidak. Pajak sering kali dirasakan sebagai sesuatu yang tidak adil, sesuatu yang hanya memberatkan mereka yang sudah hidup dalam kesulitan. Ketika sebuah keluarga petani di pedalaman harus menyerahkan sebagian dari penghasilan mereka yang tidak seberapa kepada negara, sementara manfaat dari pajak itu tak pernah benar-benar mereka rasakan, di situlah rasa ketidakadilan itu tumbuh, menjadi bara yang siap menyala kapan saja.

Dampak Sosial dan Ekonomi dari Beban Pajak

Ketidakadilan dalam pajak bukan hanya sekadar soal angka yang tertulis di atas kertas, tetapi soal perasaan—perasaan tertindas dan tak berdaya di hadapan kekuasaan yang tampak tak peduli. Ketika rakyat kecil merasa bahwa mereka dibebani lebih dari yang seharusnya, sementara mereka yang lebih mampu bisa lolos dari tanggung jawab, ketidakpercayaan mulai tumbuh. Dan ketidakpercayaan itu, jika dibiarkan, akan menjadi racun yang merusak hubungan antara pemerintah dan rakyatnya.

Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ketika rakyat merasa tertindas oleh pajak, mereka akan kehilangan semangat untuk bekerja dan berproduksi. Ekonomi pun akan mandek, dan negara, yang seharusnya makmur dari pajak, justru akan kehilangan sumber dayanya. Ini bukan sekadar teori, tetapi sebuah realitas yang kita saksikan di berbagai tempat dan waktu. Di Indonesia, di mana banyak orang masih hidup dalam kemiskinan, kebijakan pajak yang tidak adil hanya akan memperburuk keadaan. Ketika pajak menjadi terlalu berat, rakyat akan mulai bertanya: untuk siapa sebenarnya mereka bekerja? Untuk kesejahteraan mereka sendiri, atau untuk memenuhi pundi-pundi negara yang tak pernah penuh?

Refleksi dan Harapan: Membangun Sistem yang Adil

Dalam suasana seperti ini, penting bagi kita untuk merenung, untuk memikirkan kembali apa yang sebenarnya kita inginkan dari sebuah sistem pajak. Apakah kita ingin sebuah sistem yang memberatkan mereka yang paling rentan, ataukah kita menginginkan sebuah sistem yang benar-benar mencerminkan keadilan, di mana setiap orang berkontribusi sesuai dengan kemampuan mereka dan menerima manfaat yang setara?

Ibnu Khaldun memberikan kita sebuah pelajaran penting—bahwa keadilan harus menjadi fondasi dari setiap kebijakan. Tanpa keadilan, sebuah negara tidak akan bertahan lama. Dan di negeri ini, yang telah melalui begitu banyak penderitaan, keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Ia harus menjadi tujuan utama, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, seperti pajak.

Kesimpulan

Pajak, dalam pandangan Ibnu Khaldun, bukan sekadar angka atau kewajiban, tetapi sebuah cerminan dari hubungan antara negara dan rakyatnya. Ketika pajak diterapkan dengan adil, rakyat akan merasa dihargai dan didukung, dan negara akan makmur bersama dengan mereka. Tetapi ketika pajak menjadi beban yang menindas, ia hanya akan membawa kemunduran dan penderitaan.

Di Indonesia, kita masih hidup di bawah bayang-bayang kolonialisme yang terwujud dalam sistem perpajakan kita. Untuk benar-benar merdeka, kita perlu lebih dari sekadar kemerdekaan politik; kita membutuhkan kemerdekaan dari ketidakadilan dalam segala bentuknya, termasuk dalam hal pajak. Dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan oleh Ibnu Khaldun, kita bisa membangun sebuah negara yang tidak hanya kuat, tetapi juga adil dan sejahtera bagi semua rakyatnya.

Referensi:

  1. Haikel, H., & Lestari, D. (2024). Pandangan Ibnu Khaldun Mengenai Pajak dan Relevansinya dengan Sistem Perpajakan di Indonesia. AL-FIQH: Journal of Islamic Studies, 2(1), 29-35. https://doi.org/10.59996/al-fiqh.v2i1.417
  2. Khaldun, I. (1377/1967). Muqaddimah (Trans. by F. Rosenthal). Princeton University Press.
  3. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Belknap Press.