Pendahuluan
Pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, 17 Agustus 2024, sebuah aksi protes yang dramatis dan simbolis di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menarik perhatian publik dan media. Aktivis Greenpeace mengibarkan spanduk raksasa bertuliskan Indonesia Tidak Dijual, Merdeka! di Jembatan Pulau Galang sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pembangunan ibu kota baru yang dianggap merugikan lingkungan dan mereduksi kualitas demokrasi. Penangkapan sementara terhadap aktivis ini, yang akhirnya berujung pada pembebasan, menandai ketegangan antara kepentingan pemerintah dan suara masyarakat sipil.
Simbolisme dan Makna Protes Greenpeace
Protes Greenpeace, dengan spanduk merah sepanjang 50×15 meter yang bertuliskan “Indonesia Tidak Dijual, Merdeka!”, merupakan pernyataan simbolis yang sarat makna. Dalam teori simbolik Erving Goffman (1974), aksi ini berfungsi sebagai “tindakan perlawanan” yang bertujuan merebut kembali makna kemerdekaan yang dianggap telah dipengaruhi oleh kepentingan komersial dan eksploitasi. Dengan mengaitkan kemerdekaan nasional dengan hak atas lingkungan hidup yang sehat, Greenpeace mengkritik pergeseran paradigma yang memperdagangkan sumber daya alam demi kepentingan pembangunan.
Protes ini menggarisbawahi ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat sipil dan pemerintah. Pengibaran spanduk di jembatan, yang merupakan salah satu infrastruktur penting dalam pembangunan ibu kota baru, memanfaatkan simbolisme lokasi untuk menegaskan pesan politik dan sosialnya. Penangkapan dan pembebasan aktivis, meskipun tidak mengubah kebijakan secara langsung, menggarisbawahi ketegangan antara kebebasan berekspresi dan otoritarianisme, yang mengindikasikan adanya konflik struktural dalam tata kelola negara.
Dampak Terhadap Lingkungan
Protes Greenpeace menyoroti isu krusial terkait dampak lingkungan dari pembangunan ibu kota baru. Teori ekologi politik, seperti yang dikemukakan oleh Rob Nixon (2011) dalam konsep “ekologi lambat”, menjelaskan bahwa dampak lingkungan sering kali tidak segera terlihat dan baru dirasakan secara signifikan setelah beberapa waktu. Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur dianggap sebagai salah satu contoh utama dari proyek yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keberlanjutan lingkungan. Konsekuensi dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan mengancam keragaman hayati yang sangat penting untuk keseimbangan ekologis.
Proyek tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan habitat yang luas, mengancam spesies endemik, serta memperburuk krisis perubahan iklim. Teori “kapitalisme ekologi” yang diperkenalkan oleh John Bellamy Foster (2000) menjelaskan bagaimana logika kapitalis, yang mementingkan akumulasi keuntungan di atas segala hal, sering kali mengabaikan dampak ekologis jangka panjang. Greenpeace menentang proyek ini sebagai bagian dari kritik terhadap kapitalisme yang mengabaikan hak-hak lingkungan dan masyarakat lokal.
Konsekuensi terhadap Kualitas Tata Kelola
Protes Greenpeace juga mencerminkan kekhawatiran tentang kualitas demokrasi di Indonesia. Penangkapan sementara aktivis, diikuti oleh pembebasan, menyoroti isu-isu terkait kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Dalam teori demokrasi deliberatif, sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas (1996), partisipasi publik dan dialog terbuka merupakan pilar utama dari demokrasi yang sehat. Aksi protes ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperjuangkan ruang bagi partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak luas, terutama mengenai kebijakan yang mempengaruhi lingkungan hidup.
Pemerintah yang cenderung represif terhadap kritik dan oposisi dapat menurunkan kualitas demokrasi dengan menghalangi suara-suara yang menyuarakan keberatan terhadap kebijakan. Penangkapan aktivis menunjukkan adanya potensi penurunan dalam ruang demokrasi dan kebebasan sipil. Teori “demokrasi agonistik” oleh Chantal Mouffe (2005) menekankan perlunya ruang bagi konflik politik dan perbedaan pendapat sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Dalam hal ini, protes Greenpeace menggarisbawahi perlunya pemeliharaan ruang demokrasi yang memungkinkan kritik terhadap kebijakan pemerintah tanpa adanya pembatasan yang represif.
Kritik Terhadap Keterlibatan Masyarakat Sipil dan Pemerintah
Gerakan Greenpeace ini juga menyoroti keterlibatan masyarakat sipil dalam proses politik dan lingkungan. Aktivisme lingkungan sering kali berfungsi sebagai bentuk “pemantauan sosial” yang menanggapi kegagalan institusi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan (Habermas, 1996). Protes ini, dengan menggunakan simbolisme dan aksi langsung, berupaya menarik perhatian publik dan pemerintah terhadap isu yang sering kali terabaikan dalam diskursus politik arus utama.
Di sisi lain, respons pemerintah terhadap protes ini, termasuk penangkapan dan pembebasan aktivis, mencerminkan pendekatan terhadap pengelolaan konflik sosial dan politik. Kebijakan yang responsif terhadap kritik dapat menunjukkan kematangan demokrasi, sementara pendekatan represif dapat memperburuk ketegangan sosial. Teori “neoliberalisme” yang dikemukakan oleh David Harvey (2005) mengkritik bagaimana pendekatan kapitalis yang menekankan pasar bebas dapat merugikan hak-hak sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, respons pemerintah terhadap protes Greenpeace dapat dilihat sebagai cerminan dari ketegangan antara kepentingan ekonomi dan hak-hak lingkungan dan sosial.
Kesimpulan
Aksi protes Greenpeace pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79 tidak hanya menjadi pernyataan simbolis yang kuat, tetapi juga menggarisbawahi isu-isu mendalam terkait dampak lingkungan dan kualitas demokrasi. Dengan menggunakan teori-teori kritis dan sosial, kita dapat melihat protes ini sebagai refleksi dari konflik antara kepentingan pembangunan dan keberlanjutan, serta ketegangan antara kebebasan berekspresi dan kebijakan represif. Dalam konteks ini, protes Greenpeace berfungsi sebagai panggilan untuk refleksi dan reformasi dalam tata kelola lingkungan dan demokrasi di Indonesia, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan hak-hak masyarakat serta lingkungan.
Referensi
- Bellamy Foster, J. (2000). Marx’s Ecology: Materialism and Nature. Monthly Review Press.
- Goffman, E. (1974). Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. Harper & Row.
- Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
- Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
- Mouffe, C. (2005). On the Political. Routledge.
- Nixon, R. (2011). Slow Violence and the Environmentalism of the Poor. Harvard University Press.