Pendahuluan
Dalam era modern yang ditandai oleh keberagaman dan inklusi, perdebatan tentang representasi perempuan dalam kepemimpinan menjadi semakin relevan. Konsep Kesetaraan, Keberagaman, dan Inklusi (Diversity, Equity, and Inclusion/DEI) telah diusung sebagai landasan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif. Namun, di balik tujuan mulia ini, muncul pertanyaan mendalam tentang dampaknya terhadap prinsip-prinsip meritokrasi. Apakah DEI benar-benar mengangkat derajat perempuan, ataukah ia justru melemahkan nilai-nilai dasar yang seharusnya menjadi pedoman dalam seleksi kepemimpinan?
Di panggung yang lebih lokal, seperti di Banjarbaru, muncul figur kepemimpinan perempuan yang membawa harapan baru. Hj. Erna Lisa Halaby (ELH), dengan segala integritas dan dedikasi yang telah ia tunjukkan, menjadi contoh nyata bahwa kepemimpinan perempuan tidak hanya sekadar soal representasi gender, tetapi lebih pada komitmen untuk membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat.
Meritokrasi dan Tantangan DEI
Meritokrasi, sebuah sistem yang mengutamakan kemampuan, prestasi, dan usaha sebagai dasar dalam penilaian, telah lama menjadi standar dalam menentukan kualitas kepemimpinan. Namun, dengan semakin meluasnya penerapan DEI, kekhawatiran muncul bahwa fokus pada kesetaraan gender dan ras mungkin mengalihkan perhatian dari inti meritokrasi itu sendiri.
Marissa Streit, seorang pemimpin di dunia pendidikan, menyoroti fenomena ini dengan kritis. Dalam pandangannya, DEI, meskipun bermaksud baik, sering kali menciptakan kesan bahwa perempuan hanya dapat berhasil jika diberi bantuan khusus. Hal ini, secara tidak langsung, dapat merusak kepercayaan diri perempuan dalam meraih posisi kepemimpinan. Ketika perempuan dipilih untuk memenuhi kuota DEI, mereka mungkin merasa dipilih bukan karena kemampuan mereka, melainkan karena identitas mereka. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa perempuan, seperti halnya Kathrine Switzer, mampu mencapai prestasi besar melalui kerja keras dan ketekunan tanpa bantuan atau perlakuan khusus.
Kepemimpinan Perempuan di Banjarbaru: Kasus ELH
Di Banjarbaru, sosok Hj. Erna Lisa Halaby (ELH) muncul sebagai pemimpin yang membawa harapan baru. ELH adalah contoh nyata bagaimana seorang perempuan dapat menggabungkan integritas dan kompetensi untuk memimpin masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Keputusannya untuk meninggalkan zona nyaman sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan terjun ke dunia politik menunjukkan tekadnya untuk membawa perubahan yang berarti.
Keberhasilan ELH dalam menyelenggarakan Fun Walk Kemerdekaan pada 11 Agustus 2024, di mana ribuan warga Banjarbaru berkumpul untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, menjadi bukti nyata dari komitmennya terhadap masyarakat. Acara ini tidak hanya berhasil mengumpulkan massa dalam jumlah besar, tetapi juga menjadi simbol bagaimana seorang pemimpin perempuan dapat membangun kepercayaan publik melalui tindakan nyata dan kebijakan yang berkelanjutan.
Dalam ilmu administrasi, kepercayaan publik adalah fondasi dari setiap hubungan yang efektif antara pemerintah dan masyarakat. ELH tampaknya sangat memahami pentingnya kepercayaan ini. Dia tidak hanya hadir di tengah masyarakat, tetapi juga mendengarkan dan merespons kebutuhan mereka dengan tindakan yang konkret. Ini adalah bukti bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya bergantung pada citra, tetapi pada substansi dan hasil nyata.
Menggabungkan DEI dan Meritokrasi: Pelajaran dari Kepemimpinan ELH
Meskipun kritik terhadap DEI yang disampaikan oleh Streit relevan, kita juga dapat melihat bagaimana konsep ini dapat diintegrasikan dengan meritokrasi di tingkat lokal. Kepemimpinan ELH di Banjarbaru menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam kepemimpinan tidak perlu bertentangan dengan prinsip-prinsip meritokrasi. Dengan pendekatan yang tepat, DEI dapat menjadi alat untuk memastikan bahwa setiap individu, termasuk perempuan, memiliki kesempatan yang adil untuk menunjukkan kompetensinya dan mendapatkan posisi kepemimpinan berdasarkan prestasi.
Dalam kampanyenya, ELH tidak hanya menekankan pentingnya representasi perempuan, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat. Misalnya, komitmennya terhadap peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang prioritas masyarakat. Dengan demikian, ELH bukan hanya seorang pemimpin perempuan yang mengisi kuota, tetapi seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata dan substansial bagi Banjarbaru.
Kesimpulan: Kepemimpinan Perempuan yang Mengedepankan Meritokrasi
Dalam perdebatan tentang kepemimpinan perempuan, pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah pemimpin tersebut terpilih karena kemampuan dan prestasinya atau karena memenuhi kriteria tertentu. Perempuan seperti ELH di Banjarbaru menunjukkan bahwa ketika diberikan kesempatan yang setara, mereka dapat membawa perubahan positif yang signifikan bagi masyarakat. Ini adalah bukti bahwa representasi gender dalam kepemimpinan dapat berjalan seiring dengan meritokrasi, asalkan kepemimpinan tersebut didasarkan pada kompetensi dan integritas.
Masyarakat pada akhirnya membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya, yang mampu membawa visi yang jelas, dan yang memiliki dedikasi untuk mewujudkan perubahan yang berarti. Sosok seperti ELH membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin yang kuat dan efektif, asalkan mereka diberi kesempatan yang adil dan dinilai berdasarkan merit yang sesungguhnya.
Referensi:
- Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2015). The New Public Service: Serving, Not Steering. Armonk, NY: M.E. Sharpe.
- Frederickson, H. G. (1980). New Public Administration. Tuscaloosa, AL: University of Alabama Press.
- Savas, E. S. (2000). Privatization and Public-Private Partnerships. New York: Chatham House Publishers.
- Streit, M. (2024). Do we need a female president? Let’s reject DEI because it teaches our children that women are inherently less capable. Fox News.
- Wahyudi, A. (2024). Angin Segar untuk Banjarbaru: Harapan Baru melalui Perspektif Ilmu Administrasi. TheMoments.LIVE.