Kritik atas Kegagalan Manajerial dalam Program Imunisasi Polio di Kota Itu: Analisis Komparasi

Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Program Imunisasi Nasional (PIN) Polio tahun 2024 di salah satu daerah di Kalimantan Selatan mengalami kegagalan signifikan dalam mencapai target cakupan 95%. Salah satu kota , yang akan disebut sebagai “kota itu,” menjadi penyebab dan contoh jelas kegagalan ini. Data menunjukkan bahwa seluruh wilayah kota itu gagal memenuhi target imunisasi. Kegagalan ini bukan hanya masalah teknis, melainkan mencerminkan kelemahan mendasar dalam kepemimpinan dan manajemen stakeholder kesehatan.

Kegagalan di kota itu dapat diatribusikan pada kepemimpinan yang tidak efektif. Pemimpin yang baik seharusnya mampu menginspirasi dan menggerakkan seluruh elemen organisasi kesehatan untuk mencapai tujuan bersama. Namun, di kota itu, para pemimpin kesehatan menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk menciptakan strategi yang efektif dan inovatif. Kekurangan ini mencerminkan kurangnya visi, keteladanan, dan komitmen dari para pemimpin. Di sisi lain, ada kabupaten/kota lain di Kalimantan Selatan yang, meskipun menghadapi tantangan serupa, mampu mencapai hasil yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kepemimpinan yang kuat dan manajemen yang efektif, target imunisasi dapat dicapai.

Middle manajer di kota itu, yang seharusnya menjadi penghubung antara kebijakan tingkat atas dan pelaksanaan di lapangan, gagal menjalankan peran mereka dengan baik. Mereka tidak mampu menerjemahkan kebijakan menjadi tindakan yang efektif dan sering kali terjebak dalam birokrasi yang menghambat kemajuan program. Sementara itu, di kabupaten/kota lain yang lebih sukses, middle manajer menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam mengelola sumber daya dan mengatasi hambatan. Ini menyoroti perlunya pergantian middle manajer di kota itu dengan individu yang lebih kompeten dan mampu membawa perubahan nyata.

Top manajer dan kepala daerah di kota itu juga harus bertanggung jawab atas kegagalan ini. Mereka seharusnya memberikan arah yang jelas dan memastikan bahwa seluruh tim bekerja menuju tujuan yang sama. Namun, ketidakmampuan mereka untuk mengelola sumber daya dengan efektif, serta kurangnya kepemimpinan yang kuat, telah menyebabkan kegagalan program ini. Di kabupaten/kota lain yang berhasil, top manajer dan kepala daerah menunjukkan komitmen yang tinggi dan kepemimpinan yang visioner. Perbandingan ini menunjukkan bahwa pergantian top manajer dan kepala daerah di kota itu sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan program di masa depan.

Stakeholder kesehatan, termasuk dinas kesehatan dan lembaga terkait lainnya, memiliki peran penting dalam mendukung pelaksanaan program imunisasi. Namun, di kota itu, koordinasi dan kerjasama antar stakeholder sangat lemah. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan mereka untuk mendistribusikan vaksin secara merata dan tepat waktu ke semua wilayah. Sebaliknya, di kabupaten/kota lain yang sukses, stakeholder kesehatan menunjukkan koordinasi yang lebih baik dan kerjasama yang erat, memastikan distribusi vaksin yang efektif dan pelaksanaan program yang lancar. Kurangnya koordinasi di kota itu menunjukkan bahwa ada kelemahan mendasar dalam manajemen kesehatan yang perlu segera diatasi.

Teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bernard M. Bass menawarkan panduan penting untuk memahami dan mengatasi masalah ini. Teori ini menekankan pentingnya seorang pemimpin untuk mampu menginspirasi dan memotivasi bawahannya. Kepemimpinan transformasional melibatkan empat komponen utama: pengaruh idealis, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual. Pengaruh idealis mengharuskan pemimpin menjadi teladan bagi bawahannya. Dalam situasi ini, pemimpin kesehatan di kota itu harus menunjukkan komitmen tinggi terhadap keberhasilan program imunisasi. Kurangnya keteladanan dari pemimpin kesehatan mencerminkan kelemahan dalam komponen ini.

Motivasi inspirasional berarti pemimpin harus mampu memberikan visi dan inspirasi kepada bawahannya. Kegagalan mencapai target di kota itu menunjukkan bahwa pemimpin kesehatan belum berhasil menginspirasi tim mereka untuk bekerja secara maksimal. Sebaliknya, di kabupaten/kota lain yang sukses, pemimpin mampu memberikan visi yang jelas dan menginspirasi tim mereka untuk bekerja keras mencapai tujuan. Stimulasi intelektual memerlukan pemimpin untuk mendorong bawahan berpikir kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan. Kurangnya inovasi dalam pelaksanaan program imunisasi di kota itu menunjukkan bahwa pemimpin kesehatan belum mampu memfasilitasi lingkungan kerja yang mendukung kreativitas. Di kabupaten/kota lain yang berhasil, pemimpin mendorong inovasi dan kreativitas dalam pelaksanaan program, sehingga mampu mengatasi hambatan dengan lebih baik. Pertimbangan individual mengharuskan pemimpin memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan dan potensi individu bawahannya. Dalam hal ini, pemimpin kesehatan di kota itu harus mampu mengenali dan mengatasi hambatan yang dihadapi oleh tenaga kesehatan di lapangan.

Dalam mengatasi kegagalan ini, diperlukan perubahan mendasar dalam kepemimpinan dan manajemen kesehatan. Pelatihan kepemimpinan bagi pemimpin kesehatan di kota itu harus ditingkatkan, dengan fokus pada pengembangan kemampuan kepemimpinan transformasional. Pelatihan ini harus mencakup pengembangan keterampilan dalam memberikan inspirasi, mendorong inovasi, dan memperhatikan kebutuhan individu bawahannya. Peningkatan koordinasi antar stakeholder sangat penting. Dinas kesehatan di kota itu harus mengembangkan mekanisme koordinasi yang lebih efektif untuk memastikan distribusi vaksin berjalan lancar dan program imunisasi dilaksanakan sesuai rencana. Penggunaan teknologi informasi untuk memantau pelaksanaan program secara real-time dapat membantu meningkatkan koordinasi dan responsivitas.

Pemimpin kesehatan di kota itu harus lebih proaktif dalam mencari solusi inovatif untuk mengatasi hambatan yang ada. Misalnya, penggunaan pos imunisasi mobile untuk menjangkau daerah terpencil dan penyediaan insentif bagi tenaga kesehatan yang mencapai target imunisasi dapat meningkatkan keberhasilan program. Kegagalan program imunisasi polio di kota itu mencerminkan kelemahan dalam kepemimpinan dan manajemen kesehatan. Kritik terhadap para pemimpin dan stakeholder kesehatan di kota itu menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam pendekatan kepemimpinan dan koordinasi. Dengan menerapkan teori kepemimpinan transformasional dan strategi inovatif, diharapkan program imunisasi di masa depan dapat mencapai target yang diinginkan.

Referensi:

  1. Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational Leadership (2nd ed.). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
  2. Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations (8th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.
  3. Northouse, P. G. (2018). Leadership: Theory and Practice (8th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
  4. Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2017). The Leadership Challenge: How to Make Extraordinary Things Happen in Organizations (6th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
  5. World Health Organization. (2023). Immunization Coverage. Retrieved from WHO website.
  6. Kotter, J. P. (1996). Leading Change. Boston, MA: Harvard Business School Press.
  7. Goleman, D. (2004). Emotional Intelligence and Working with Emotional Intelligence. London: Bloomsbury Publishing.
  8. Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t. New York: HarperBusiness.
  9. Heifetz, R. A., & Linsky, M. (2002). Leadership on the Line: Staying Alive through the Dangers of Leading. Boston, MA: Harvard Business Review Press.
  10. Sinek, S. (2009). Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action. New York: Penguin Group.