Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Dalam dunia politik yang penuh dengan intrik dan taktik, bahasa memainkan peran yang jauh lebih besar daripada sekadar alat komunikasi. Di balik setiap pidato, slogan, dan pernyataan, terdapat strategi yang dirancang untuk mengarahkan pikiran publik ke arah tertentu. Politisi, dengan segala kepiawaiannya, menggunakan bahasa sebagai senjata halus yang mampu membentuk opini tanpa memerlukan proses berpikir yang mendalam dari masyarakat. Mereka tahu bahwa undangan untuk berpikir kritis jarang direspon dengan antusias, dan lebih baik membiarkan kita berada dalam zona nyaman penilaian cepat.
Penilaian cepat, yang sering kali muncul sebagai respons spontan, menjadi andalan dalam percaturan politik. Politisi memahami bahwa pemikiran kritis membawa ketidakpastian; dan ketidakpastian ini berpotensi menciptakan pemilih yang sulit diprediksi—sebuah risiko yang dihindari dengan segala cara. Di sinilah politisi menggunakan kekuatan bahasa untuk menciptakan narasi yang tampak jelas dan sederhana, sehingga mengundang kita untuk segera menilai, tanpa perlu merenung lebih jauh.
Daniel Kahneman, seorang tokoh terkemuka dalam bidang psikologi, mengungkapkan bahwa manusia cenderung membuat keputusan secara otomatis dan tanpa banyak pertimbangan. Kita lebih suka memberikan opini daripada terlibat dalam analisis yang mendalam dan memakan waktu. Dalam dunia politik, kecenderungan ini menjadi lahan subur bagi manipulasi. Politisi tahu bahwa kita lebih mudah dipengaruhi oleh kata-kata yang mengarahkan emosi dan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam diri kita, daripada oleh argumen logis yang membutuhkan waktu dan usaha untuk dipahami.
Bahasa, dalam ranah politik, menjadi lebih dari sekadar medium untuk menyampaikan pesan. Ia menjadi alat manipulasi yang dapat membentuk cara pandang kita terhadap isu-isu tertentu. Misalnya, istilah seperti “pejuang” dan “pemalas” dalam wacana publik sering kali digunakan untuk membagi masyarakat ke dalam kategori yang sederhana, namun penuh muatan emosional. Kata-kata ini membawa konotasi yang kuat, mendorong kita untuk menilai dengan cepat, tanpa perlu mendalami latar belakang sosial atau ekonomi yang mempengaruhi perilaku individu atau kelompok tersebut.
George Orwell, seorang penulis yang terkenal dengan kritisisme terhadap bahasa politik, pernah mengatakan bahwa bahasa yang buruk bukan hanya mencerminkan pemikiran yang buruk, tetapi juga dapat merusak kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam. Ketika politisi dengan sengaja memilih kata-kata yang dirancang untuk memanipulasi penilaian kita, mereka sedang mencoba mengendalikan cara kita memahami dunia. Ini adalah strategi yang sangat efektif, yang bekerja di bawah permukaan kesadaran kita, dan sering kali tidak disadari oleh masyarakat luas.
Dalam ranah demokrasi, di mana seharusnya setiap warga negara terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, manipulasi bahasa ini memiliki dampak yang sangat merugikan. Demokrasi memerlukan warga negara yang mampu berpikir secara kritis, yang dapat menganalisis isu-isu dengan cermat sebelum membuat keputusan. Namun, ketika bahasa digunakan untuk mendorong penilaian cepat, masyarakat menjadi lebih mudah terpengaruh dan kurang mampu untuk memahami kerumitan dari masalah yang dihadapi. Hasilnya adalah keputusan yang sering kali tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam, melainkan pada penilaian yang dangkal dan emosional.
Dampak dari manipulasi bahasa ini tidak hanya terbatas pada politik, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang terbiasa membuat penilaian cepat menjadi kurang kritis dalam menghadapi berbagai isu, baik yang bersifat sosial, ekonomi, maupun budaya. Polarisasi di dalam masyarakat juga cenderung meningkat ketika orang-orang membentuk opini berdasarkan penilaian emosional, alih-alih melalui diskusi yang rasional dan berbasis fakta.
Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk mengembangkan kebiasaan berpikir kritis yang lebih kuat. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan selalu bertanya pada diri sendiri tentang motif di balik setiap kata yang digunakan oleh politisi: apakah kita sedang diajak untuk berpikir atau hanya untuk menilai? Dengan menggali lebih dalam di balik kata-kata yang digunakan, kita dapat mulai memutus siklus manipulasi yang telah lama berakar dalam praktik politik.
Pendidikan, khususnya yang berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, harus menjadi prioritas dalam membentuk generasi yang lebih tanggap terhadap manipulasi bahasa. Media juga memiliki peran penting dalam menyajikan informasi dengan cara yang mendorong masyarakat untuk berpikir, bukan sekadar menilai. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat benar-benar mencerminkan kepentingan publik yang sesungguhnya.
Akhirnya, penting untuk menyadari bahwa bahasa dalam politik adalah medan perang yang halus, di mana setiap kata adalah peluru yang dapat membentuk atau menghancurkan pemahaman kita tentang dunia. Untuk mempertahankan integritas demokrasi dan memastikan bahwa suara kita benar-benar berarti, kita harus terus mengasah kemampuan berpikir kritis kita. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penonton dalam panggung politik, tetapi juga peserta aktif yang mampu menggali makna di balik setiap kata yang diucapkan oleh para pemimpin kita.