Wajah Keserakahan dalam Kepemimpinan dan Dampaknya pada Kehidupan Bangsa

Pendahuluan

Keserakahan adalah benih yang selalu ada dalam jiwa manusia, tumbuh dalam lahan yang dipupuk oleh ketidakpuasan dan ambisi yang tak terkendali. Ia bukanlah fenomena baru, melainkan sudah berabad-abad menjadi bagian dari narasi kemanusiaan, merusak tatanan sosial, moral, dan politik. Dalam dunia kepemimpinan, keserakahan adalah kekuatan yang menghancurkan, membuat pemimpin kehilangan arah, dan pada akhirnya, menimbulkan dampak yang merusak bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Keserakahan sebagai Dorongan Psikologis yang Tak Pernah Puas

Keserakahan, menurut Marcel Zeelenberg dan Seger M. Breugelmans (2022), adalah hasrat yang tak pernah puas untuk memiliki lebih banyak, yang dalam beberapa kasus dapat mendorong individu untuk berinovasi dan bekerja keras. Namun, sisi gelap dari keserakahan adalah ketika ia mulai mengorbankan orang lain dan merusak tatanan sosial yang ada. Dalam aspek psikologi, keserakahan dapat dipahami sebagai bentuk dorongan dasar manusia yang berasal dari naluri bertahan hidup, yang kemudian berkembang menjadi ambisi yang tidak terkendali dalam peradaban modern (Zeelenberg & Breugelmans, 2022).

Keserakahan dalam diri seorang pemimpin sering kali menuntun pada perilaku yang tidak adil dan manipulatif. Manfred F. R. Kets de Vries (2016) menjelaskan bahwa keserakahan tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga menghancurkan fondasi moral yang menjadi dasar kepemimpinan yang sehat. Dalam kepemimpinan, keserakahan dapat membuat seorang pemimpin lupa akan tanggung jawabnya untuk melayani rakyat, dan sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai alat untuk memenuhi ambisi pribadi (Kets de Vries, 2016).

Keserakahan dalam Praktik Kepemimpinan

Ketika keserakahan menjadi kekuatan pendorong dalam kepemimpinan, ia sering kali termanifestasi dalam bentuk perilaku yang koruptif dan tidak bermoral. Korupsi adalah salah satu contoh bagaimana keserakahan dapat menghancurkan integritas pemerintahan. Indonesia, misalnya, telah lama berjuang melawan korupsi yang merajalela di berbagai tingkat pemerintahan. Kasus-kasus yang mencuat, seperti yang diungkapkan oleh Rizal Fadillah (2024), menunjukkan betapa dalamnya keserakahan telah mengakar dalam birokrasi, dari tingkat tertinggi hingga yang terendah (Fadillah, 2024).

Utang negara yang semakin meningkat juga merupakan cerminan dari kebijakan yang didorong oleh keserakahan. Proyek-proyek besar yang dibiayai oleh utang sering kali tidak direncanakan dengan matang, dan lebih mengutamakan ambisi politik daripada kepentingan rakyat. Hal ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Stiglitz (2012), adalah manifestasi dari keserakahan yang mengabaikan keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan generasi mendatang (Stiglitz, 2012).

Dalam dunia politik, keserakahan juga sering kali mendorong praktik nepotisme, di mana posisi-posisi strategis diisi oleh anggota keluarga atau kroni-kroni terdekat, bukan berdasarkan kompetensi, tetapi semata-mata karena hubungan pribadi. Fenomena ini merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menciptakan budaya apatisme di kalangan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Becker (2014), nepotisme adalah bentuk lain dari keserakahan yang mengorbankan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan dalam tatanan sosial (Becker, 2014).

Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kepemimpinan yang Didorong oleh Keserakahan

Dampak dari kepemimpinan yang didorong oleh keserakahan tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki implikasi jangka panjang yang serius. Dalam konteks sosial, keserakahan menciptakan ketidakpercayaan dan ketidakadilan. Rakyat yang seharusnya dilindungi oleh pemimpin mereka justru menjadi korban dari ambisi pribadi yang tak terkendali. Ketidakpercayaan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Fukuyama (1995), dapat merusak kohesi sosial dan menciptakan ketegangan yang berpotensi memicu konflik (Fukuyama, 1995).

Ketimpangan ekonomi yang dihasilkan dari kebijakan yang tidak adil juga menjadi salah satu dampak keserakahan dalam kepemimpinan. Ketergantungan pada investasi asing dan masuknya tenaga kerja dari luar negeri tanpa regulasi yang ketat menciptakan persaingan yang tidak adil bagi pekerja lokal, yang pada akhirnya memperparah ketimpangan sosial (Piketty, 2014). Seperti yang diungkapkan oleh Piketty (2014), keserakahan yang didorong oleh hasrat untuk mengumpulkan kekayaan hanya akan memperbesar jurang antara yang kaya dan yang miskin, menciptakan ketidakstabilan sosial yang berbahaya (Piketty, 2014).

Refleksi Moral dan Upaya Mengatasi Keserakahan dalam Kepemimpinan

Dalam menghadapi tantangan keserakahan, refleksi moral menjadi sangat penting. Keserakahan, dalam segala bentuknya, adalah cerminan dari kekosongan moral yang merasuki jiwa manusia. Tanpa moralitas, segala bentuk pembangunan dan kemajuan hanyalah ilusi yang pada akhirnya akan runtuh di hadapan kenyataan yang pahit. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles dalam Ethics, keadilan dan kebajikan adalah pilar utama yang harus ditegakkan dalam setiap tindakan, termasuk dalam kepemimpinan (Aristoteles, 1999).

Membangun kembali moralitas dalam kepemimpinan memerlukan upaya yang terintegrasi, mulai dari pendidikan hingga reformasi kebijakan. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai keadilan, integritas, dan empati sejak dini akan menghasilkan generasi pemimpin yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab. Sementara itu, reformasi kebijakan yang menekankan pada transparansi dan akuntabilitas akan membantu mencegah praktik-praktik koruptif yang didorong oleh keserakahan.

Dalam praktiknya, mengatasi keserakahan dalam kepemimpinan juga memerlukan keberanian untuk melakukan perubahan yang signifikan. Pemimpin harus mampu menahan godaan keserakahan dan fokus pada kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin. Seperti yang diungkapkan oleh Weber (1968) dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, etika kerja keras yang didasari oleh moralitas dan rasa tanggung jawab sosial adalah fondasi yang kokoh bagi kemajuan yang berkelanjutan (Weber, 1968).

Penutup

Keserakahan dalam kepemimpinan adalah seperti pohon besar yang akarnya telah merusak fondasi rumah yang dibangunnya sendiri. Pohon itu mungkin tampak kokoh dan mengesankan dari luar, namun di dalam, akarnya yang tersembunyi telah menebar kerusakan yang pada akhirnya akan membuat rumah itu runtuh. Hanya dengan memotong akar-akar keserakahan itu, dan menggantinya dengan benih-benih kebijaksanaan dan keadilan, rumah itu dapat dibangun kembali, lebih kuat dan lebih kokoh dari sebelumnya.

Sebagaimana pohon yang baik akan menghasilkan buah yang manis, demikian pula kepemimpinan yang didasari oleh moralitas dan kebajikan akan menghasilkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Janganlah kita terperdaya oleh gemerlap kekayaan dan kekuasaan yang sementara, tetapi marilah kita menanamkan nilai-nilai yang abadi dalam setiap tindakan kita. Sebab, pada akhirnya, yang abadi bukanlah apa yang kita miliki, tetapi apa yang telah kita berikan kepada orang lain.

Referensi

  1. Aristoteles. (1999). Nicomachean Ethics (2nd ed., T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
  2. Becker, G. S. (2014). A Treatise on the Family (2nd ed.). Harvard University Press.
  3. Fadillah, M. R. (2024). Jokowi Pemimpin Butut. Suara Islam. Retrieved from https://suaraislam.id/jokowi-pemimpin-butut
  4. Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Free Press.
  5. Kets de Vries, M. F. R. (2016). Seven Signs of the Greed Syndrome. INSEAD Knowledge. Retrieved from https://knowledge.insead.edu/blog/insead-blog/seven-signs-of-the-greed-syndrome-4500
  6. Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.
  7. Stiglitz, J. E. (2012). The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future. W.W. Norton & Company.
  8. Weber, M. (1968). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Charles Scribner’s Sons.
  9. Zeelenberg, M., & Breugelmans, S. M. (2022). The good, bad and ugly of dispositional greed. Current Opinion in Psychology, 46, 101323. https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2022.101323