Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Langit Nagasaki yang membiru pada setiap peringatan jatuhnya bom atom selalu menjadi saksi bisu atas luka yang tertoreh di hati kemanusiaan. Dalam setiap dentang lonceng, kita seolah-olah diajak kembali ke masa lalu, ke sebuah pagi kelabu di tahun 1945, di mana ribuan jiwa melayang tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Peringatan ini bukan sekadar mengingatkan kita pada sebuah tragedi, tetapi lebih dari itu, menjadi cermin bagi kita untuk melihat diri, menelusuri lorong waktu, dan mempertanyakan kembali apa yang telah kita pelajari dari sejarah.
Namun, pada tahun ini, di balik upacara yang sarat makna tersebut, terhampar sebuah keputusan yang menggelitik nalar dan menggetarkan nurani. Walikota Nagasaki, Shiro Suzuki, memutuskan untuk tidak mengundang Israel dalam peringatan ini, dengan dalih keamanan. Keputusan ini, bagai gerimis di musim kemarau, tampak ringan namun meninggalkan bekas yang mendalam. Apakah benar keamanan yang menjadi alasan, ataukah ada badai politis yang sedang bersembunyi di balik keputusan ini?
Hiroshima di Bumi Pertiwi: Sebuah Refleksi
Di tanah air, kita tak bisa lepas dari bayang-bayang perang kiasan yang terus berlarian di sepanjang alur politik negeri ini. Setiap hari, layar kaca dan berita-berita daring dipenuhi dengan narasi tentang konflik kekuasaan, pertarungan ideologi, dan benturan kepentingan yang tiada henti. Seperti Nagasaki yang terluka, bangsa ini pun tengah merasakan pahitnya perpecahan yang terbungkus dalam berbagai rupa.
Keputusan Walikota Suzuki untuk menyingkirkan Israel dari peringatan ini, jika kita tarik sebagai metafora, tidak jauh berbeda dengan bagaimana politisi kita saling memanipulasi narasi untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka. Di Indonesia, politik sering kali dimainkan dengan strategi yang licin, di mana kebenaran menjadi bahan dagangan dan moralitas ditinggalkan di tepi jalan. Ketika seorang pemimpin memilih untuk tidak mengundang Israel dengan alasan keamanan, itu sama halnya dengan politisi kita yang menutup mata terhadap kebenaran demi mengamankan posisinya.
Politik Bayangan: Narasi yang Terus Berulang
Jika kita membandingkan peringatan ini dengan situasi politik di Indonesia, maka kita akan menemukan banyak kesamaan. Di sini, politik sering kali lebih mirip dengan permainan bayangan, di mana yang tampak di permukaan sering kali hanya ilusi, sedangkan yang sebenarnya terjadi tersembunyi di balik layar. Sebagaimana Walikota Suzuki yang menyembunyikan alasan sebenarnya di balik keputusannya, para politisi di Indonesia juga kerap menyembunyikan maksud dan tujuan mereka di balik retorika yang indah.
Kita bisa melihat bagaimana keputusan ini menjadi cerminan dari dinamika politik kita sendiri. Di Indonesia, sering kali kita melihat bagaimana tokoh-tokoh politik saling menyingkirkan dengan cara yang halus namun mematikan. Mereka mungkin tidak langsung menyingkirkan lawan mereka, tetapi dengan menciptakan narasi yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, mereka berhasil menciptakan perpecahan yang tak terhindarkan.
Luka yang Terus Menganga
Seperti luka Hiroshima yang tak pernah benar-benar sembuh, demikian juga dengan luka politik di Indonesia. Setiap kali kita berpikir bahwa kita telah melangkah maju, selalu ada kekuatan yang menarik kita kembali ke jurang perpecahan. Kita melihat ini dalam setiap pemilu, dalam setiap keputusan politik besar, di mana kepentingan pribadi dan kelompok sering kali lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa.
Keputusan Walikota Suzuki untuk menyingkirkan Israel adalah refleksi dari kecenderungan manusia untuk menghindari konflik langsung dengan cara yang tidak langsung. Di Indonesia, kita sering melihat bagaimana para pemimpin kita lebih memilih untuk menghindari masalah daripada menghadapinya secara langsung. Mereka lebih memilih untuk menciptakan narasi yang menenangkan, meskipun itu berarti menutup mata terhadap kebenaran yang ada di depan mata mereka.
Mencari Damai dalam Bayang-Bayang
Peringatan di Nagasaki seharusnya menjadi simbol perdamaian, namun ketika keputusan politis mengambil alih, pesan tersebut menjadi kabur. Di Indonesia, kita juga melihat bagaimana perdamaian sering kali hanya menjadi kata-kata tanpa makna. Ketika politisi kita berbicara tentang persatuan, kita harus bertanya: persatuan siapa? Dan untuk apa?
Seperti halnya di Nagasaki, di mana kebenaran dibayangi oleh keputusan politis, di Indonesia, kita juga sering kali melihat bagaimana kebenaran dibungkam oleh kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Kita melihat bagaimana politisi kita lebih tertarik untuk menjaga citra mereka daripada menghadapi kenyataan. Mereka lebih memilih untuk hidup dalam bayang-bayang daripada menatap terang benderang kebenaran.
Akhir Kata: Sebuah Renungan di Tengah Kabut
Dalam setiap keputusan, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Keputusan Walikota Suzuki untuk menyingkirkan Israel dari peringatan ini adalah cerminan dari dinamika politik global yang semakin kompleks, namun juga merupakan refleksi dari kondisi politik kita sendiri di Indonesia. Di mana pun kita berada, baik di Nagasaki maupun di Jakarta, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita akan hidup dalam bayang-bayang, ataukah kita akan berani menghadapi terang kebenaran?
Di tengah kabut yang menyelimuti, kita harus selalu ingat bahwa kebenaran, betapapun menyakitkan, adalah satu-satunya jalan menuju perdamaian yang sejati. Seperti sinar matahari yang menembus kabut pagi, kebenaran harus menjadi cahaya yang membimbing kita, bukan hanya dalam peringatan ini, tetapi dalam setiap tindakan kita sebagai bangsa yang ingin maju. Dan ketika kita memilih untuk menghadapi kebenaran, kita bukan hanya membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik, tetapi juga mewariskan warisan yang tak ternilai bagi generasi mendatang. Karena pada akhirnya, bayang-bayang hanya akan ada selama kita mengizinkannya untuk tetap ada.