Pendahuluan: Kisah Negeri dalam Perubahan yang Tak Terduga
Di sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keragaman budaya yang menakjubkan, kita menyaksikan kisah yang menggambarkan ketegangan antara kemajuan dan kehancuran. Negeri yang kita sebut sebagai Wakanda ini, dengan segala potensi dan permasalahannya, berada di persimpangan jalan di mana masa depan bangsa dipertaruhkan. Di satu sisi, ambisi untuk menjadi bagian dari dunia modern mendorong negeri ini untuk menerima gagasan-gagasan progresif yang menjanjikan perubahan sosial dan ekonomi yang cepat. Di sisi lain, ada kekhawatiran yang mendalam bahwa perubahan yang terlalu cepat akan merusak fondasi-fondasi moral dan sosial yang telah menjadi landasan kekuatan bangsa ini.
Kasus Wakanda adalah cermin dari tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang di era globalisasi. Kebijakan yang berusaha memajukan teknologi, ekonomi, dan pendidikan sering kali disertai dengan ketegangan antara tradisi dan inovasi. Dalam konteks ini, pertanyaan penting muncul: Apakah progresivisme benar-benar jalan menuju kemajuan, ataukah ia membawa bangsa ini menuju kehancuran?
Progresivisme sebagai Ideologi: Sebuah Kajian Mendalam
Progresivisme sering dipandang sebagai kekuatan pendorong di balik banyak perubahan sosial yang terjadi di dunia modern. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Andrew T. Walker dalam esainya yang provokatif, Why Progressivism Destroys Everything (2024), ada bahaya besar ketika progresivisme dibiarkan tanpa kendali. Walker berpendapat bahwa progresivisme tidak hanya sekadar serangkaian kebijakan atau tindakan politik, melainkan sebuah pandangan dunia yang menyeluruh yang memiliki asumsi-asumsi metafisik yang mendalam. Menurut Walker, progresivisme cenderung mengabaikan batasan-batasan moral dan spiritual, yang pada akhirnya mengarah pada disintegrasi sosial dan kehancuran budaya.
Pandangan Walker ini sejalan dengan kritik yang diajukan oleh Edmund Burke dalam Reflections on the Revolution in France (1790), di mana Burke memperingatkan bahwa perubahan yang terlalu cepat dan radikal dapat merusak tatanan sosial yang telah terbentuk lama. Burke menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi perubahan, dengan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari setiap tindakan yang diambil. Dalam konteks Wakanda, adopsi ide-ide progresif tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat yang merasa bahwa identitas budaya dan moral mereka sedang terkikis.
Materialisme dalam Progresivisme: Mengorbankan Nilai untuk Kemajuan?
Salah satu kritik utama terhadap progresivisme adalah kecenderungannya untuk menempatkan materialisme di atas segala nilai lainnya. Karl Marx, dalam The Communist Manifesto (1848), menekankan pentingnya kontrol atas alat produksi sebagai cara untuk mencapai perubahan sosial yang signifikan. Namun, pendekatan ini mengabaikan dimensi moral dan spiritual dari kehidupan manusia, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai elemen penting dalam menjaga keseimbangan sosial.
Max Weber, dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905), menunjukkan bahwa nilai-nilai non-material seperti etika kerja dan agama memainkan peran kunci dalam membentuk masyarakat yang stabil dan sejahtera. Weber menyoroti bagaimana etika Protestan, dengan penekanan pada kerja keras dan penghematan, telah berkontribusi pada munculnya kapitalisme modern. Namun, ketika progresivisme terlalu menekankan aspek material, ada risiko bahwa masyarakat akan kehilangan dimensi moral dan spiritual yang penting, yang dapat mengarah pada krisis identitas dan disintegrasi sosial.
Dalam kasus Wakanda, adopsi kebijakan-kebijakan progresif yang berfokus pada peningkatan ekonomi dan teknologi telah membawa kemajuan yang signifikan. Namun, ini sering kali dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional yang telah lama menjadi landasan kehidupan sosial. Akibatnya, ada kekhawatiran bahwa negeri ini sedang menuju pada krisis identitas, di mana masyarakat mulai meragukan jati diri dan nilai-nilai yang telah mereka pegang selama ini.
Progresivisme dan Kemungkinan Totalitarianisme
Hannah Arendt, dalam The Origins of Totalitarianism (1951), memberikan peringatan bahwa progresivisme yang tidak terkendali dapat mengarah pada totalitarianisme. Dalam pandangan Arendt, ketika negara mengambil peran yang terlalu besar dalam kehidupan individu dengan dalih mencapai keadilan sosial, ada risiko bahwa negara tersebut akan menjadi otoriter dan menindas. Arendt menekankan bahwa totalitarianisme tidak hanya terjadi dalam rezim-rezim yang secara eksplisit diktatorial, tetapi juga dapat muncul dalam masyarakat yang pada awalnya berkomitmen pada kebebasan dan keadilan, tetapi akhirnya mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi mencapai tujuan-tujuan politik.
Pandangan ini sangat relevan dalam konteks Wakanda, di mana kebijakan-kebijakan progresif yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial telah membawa negara ini ke arah yang mengkhawatirkan. Negara mulai mengambil kendali yang semakin besar atas kehidupan individu, dengan dalih menjaga stabilitas dan memajukan kemajuan ekonomi. Kebebasan berbicara dan kebebasan beragama mulai dibatasi, dan hak-hak individu lainnya dikorbankan demi stabilitas politik. Ini adalah tanda-tanda awal dari totalitarianisme, di mana negara mulai bertindak sebagai entitas yang memiliki kekuasaan mutlak atas warganya, tanpa memperhatikan hak-hak asasi manusia.
Dekadensi Moral sebagai Konsekuensi Progresivisme
Dekadensi moral sering kali dianggap sebagai salah satu dampak paling nyata dari progresivisme yang tidak terkendali. Sigmund Freud, dalam Civilization and Its Discontents (1930), menggambarkan bagaimana penolakan terhadap norma-norma sosial yang telah lama ada dapat mengarah pada disintegrasi moral dan sosial. Freud menunjukkan bahwa ketika individu dibiarkan menentukan nilai-nilai mereka sendiri tanpa panduan dari norma-norma sosial yang mapan, hasilnya sering kali adalah kekacauan dan ketidakpastian.
Dalam hal ini, progresivisme cenderung mendorong relativisme moral, di mana tidak ada standar kebenaran yang mutlak dan setiap individu diberi kebebasan untuk menentukan apa yang benar dan salah. Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue (1981), mengingatkan bahwa ketika masyarakat kehilangan kerangka moral yang koheren, mereka rentan terhadap krisis identitas dan anomi, sebuah keadaan di mana norma-norma sosial tidak lagi diakui atau dihormati. Ini menciptakan lingkungan di mana individu tidak lagi tahu bagaimana berperilaku atau apa yang dianggap benar atau salah, yang pada gilirannya dapat mengarah pada disintegrasi sosial.
Kasus Wakanda menggambarkan bagaimana adopsi progresivisme telah mengubah banyak norma-norma sosial yang telah lama ada. Norma-norma keluarga, misalnya, mulai tergerus oleh ide-ide baru tentang kebebasan individu dan hak-hak pribadi. Masyarakat mulai terfragmentasi, dengan individu lebih mementingkan kebebasan pribadi daripada tanggung jawab sosial. Hal ini menciptakan situasi di mana solidaritas sosial mulai memudar, dan masyarakat kehilangan arah yang jelas.
Dampak Budaya dan Sosial dari Progresivisme
Dampak dari progresivisme tidak hanya terbatas pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga merambah ke dalam budaya dan kehidupan sosial. Roger Scruton, dalam The Aesthetics of Architecture (1979), mengkritik bagaimana progresivisme dalam seni dan arsitektur sering kali mengabaikan keindahan demi fungsionalitas. Scruton menekankan bahwa seni dan arsitektur tidak hanya harus berfungsi, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai estetika yang mendalam yang mampu memperkaya kehidupan manusia.
Di Wakanda, kita dapat melihat bagaimana perubahan dalam seni dan arsitektur mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam nilai-nilai sosial. Desain bangunan yang dulunya penuh dengan ornamen yang mencerminkan identitas budaya kini digantikan oleh bangunan-bangunan fungsional yang lebih modern namun kehilangan sentuhan estetika tradisional. Ini adalah contoh bagaimana progresivisme, dalam upayanya untuk mendorong kemajuan, sering kali mengorbankan nilai-nilai budaya yang telah lama menjadi ciri khas suatu bangsa.
Selain itu, Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism (1979) juga menyoroti bagaimana progresivisme mendorong individualisme ekstrem yang pada akhirnya merusak ikatan sosial yang penting. Lasch berpendapat bahwa ketika masyarakat lebih menekankan pada hak-hak individu dan kebebasan pribadi, mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial dan nilai-nilai kolektif. Di Wakanda, ini terlihat dalam bagaimana masyarakat mulai terfragmentasi, dengan individu lebih mementingkan kebebasan pribadi daripada tanggung jawab sosial. Hal ini menciptakan situasi di mana solidaritas sosial mulai memudar, dan masyarakat kehilangan arah yang jelas.
Konservatisme sebagai Penyeimbang yang Dibutuhkan
Dalam menghadapi tantangan yang dibawa oleh progresivisme, konservatisme menawarkan alternatif yang lebih stabil dan berkelanjutan. Michael Oakeshott, dalam Rationalism in Politics and Other Essays (1962), menggambarkan konservatisme sebagai sikap skeptis terhadap perubahan yang terlalu cepat dan radikal. Oakeshott berpendapat bahwa perubahan harus terjadi secara bertahap dan dengan mempertimbangkan kebijaksanaan yang terkandung dalam tradisi dan norma-norma sosial yang telah terbentuk lama.
Konservatisme menekankan pentingnya stabilitas sosial dan kesinambungan, serta menghargai nilai-nilai yang telah terbukti efektif dalam menjaga kesejahteraan masyarakat. Ini bukan berarti bahwa konservatisme menolak perubahan, tetapi ia menekankan pentingnya perubahan yang berprinsip dan didasarkan pada penilaian yang hati-hati. Dalam konteks Wakanda, konservatisme dapat menjadi penyeimbang yang penting dalam menghadapi arus perubahan yang cepat, dengan menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan identitas dan nilai-nilai yang telah lama menjadi fondasi kekuatannya.
Metafora dan Kesimpulan: Belajar dari Jejak Progresivisme
Progresivisme dapat diibaratkan sebagai sebuah sungai yang mengalir deras, membawa serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Di satu sisi, aliran sungai ini membawa harapan akan kehidupan yang lebih baik dan kemajuan yang lebih besar. Namun, di sisi lain, jika aliran ini tidak diarahkan dengan benar, ia dapat meluap dan menghancurkan segala sesuatu yang ada di tepinya. Wakanda, sebagai sebuah bangsa, harus belajar bagaimana mengarahkan aliran ini agar tidak merusak, tetapi justru memperkaya kehidupan masyarakat.
Seperti pepatah bijak yang mengatakan, Jangan pernah melupakan dari mana kita berasal, agar kita tahu ke mana kita harus melangkah. Wakanda harus menjaga keseimbangan antara inovasi dan tradisi, antara perubahan dan stabilitas. Hanya dengan demikian, bangsa ini dapat mencapai masa depan yang cerah tanpa kehilangan apa yang telah membuatnya besar.
Referensi
- Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt, Brace.
- Burke, E. (1790). Reflections on the Revolution in France. J. Dodsley.
- Freud, S. (1930). Civilization and Its Discontents. Hogarth Press.
- Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. Free Press.
- Lasch, C. (1979). The Culture of Narcissism. W.W. Norton & Company.
- MacIntyre, A. (1981). After Virtue: A Study in Moral Theory. University of Notre Dame Press.
- Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto. Penguin Books.
- Oakeshott, M. (1962). Rationalism in Politics and Other Essays. Liberty Fund.
- Scruton, R. (1979). The Aesthetics of Architecture. Princeton University Press.
- Walker, A. T. (2024). Why Progressivism Destroys Everything. WORLD Opinions.
- Weber, M. (1905). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Routledge.