Di tengah-tengah keheningan yang dihiasi oleh kicauan burung dan gemericik air sungai, Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua, berdiri sebagai saksi bisu dari hubungan mendalam antara manusia dan alam. Pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, tiga suara muda—Vebriani Hembring, Tresya Imelda Yoshua, dan Regina Tegai—mengungkapkan kekhawatiran mendalam mereka terhadap hutan adat mereka yang kini terancam oleh ekspansi perusahaan sawit. Artikel ini akan membahas secara mendalam dampak sosial, lingkungan, dan budaya dari ancaman tersebut, dengan mempertimbangkan perspektif yang disampaikan oleh para jurnalis DewantaraNews.com.
Hutan Adat: Ruang Hidup dan Identitas
Hutan Adat Lembah Grime Nawa adalah lebih dari sekadar area hijau yang luas. Dalam bahasa lokal, hutan ini disebut sebagai “pa'”, yang berarti tempat. Namun, arti dari “pa'” jauh melampaui definisi fisik. Hutan ini adalah jiwa dan identitas bagi masyarakat adat yang tinggal di sana. Dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan sungai yang mengalir jernih, hutan ini memegang peranan sentral dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik secara ekologis maupun budaya.
Menurut Gadgil et al. (1993), hubungan antara masyarakat adat dan hutan adat mereka sering kali bersifat spiritual dan simbolis. Hutan adalah sumber makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan. Lebih dari itu, ia adalah tempat di mana ritual adat dilaksanakan, dan cerita-cerita leluhur diceritakan. Bagi suku Klesi dan Nmblong, hutan ini adalah “rumah leluhur”, tempat mereka merasa terhubung dengan identitas budaya dan spiritual mereka.
Ancaman dari Ekspansi Perusahaan Sawit
Namun, keindahan dan keberlanjutan Lembah Grime Nawa kini terancam oleh industri sawit yang semakin mendominasi wilayah tersebut. Ekspansi perkebunan sawit tidak hanya mengancam keberadaan hutan itu sendiri, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat adat.
Menurut analisis yang dilakukan oleh Jurnalis DewantaraNews.com, dampak dari deforestasi akibat perusahaan sawit sangat signifikan. Deforestasi tidak hanya mengakibatkan kehilangan habitat bagi flora dan fauna, tetapi juga berpengaruh terhadap siklus hidrologi dan kualitas tanah. Hutan yang hilang akan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air, yang pada gilirannya dapat menyebabkan erosi tanah dan penurunan kualitas sumber daya air (Laurance et al., 2014).
Dari sudut pandang sosial, dampak dari ekspansi sawit sangat merugikan masyarakat adat. Penggusuran hutan sering kali diikuti dengan konflik tanah yang melibatkan hak-hak masyarakat lokal. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki kekuatan atau akses untuk melawan keputusan yang dibuat oleh perusahaan besar. Dalam banyak kasus, mereka terpaksa pindah ke wilayah yang kurang subur, yang mengancam keberlanjutan kehidupan mereka dan mengubah struktur sosial mereka secara drastis (Colchester, 2002).
Respon dan Upaya Pelestarian
Meskipun ancaman besar membayangi, masyarakat adat di Lembah Grime Nawa tidak tinggal diam. Dengan dukungan dari berbagai organisasi lingkungan dan hak asasi manusia, mereka berupaya keras untuk melestarikan hutan adat mereka. Upaya-upaya ini mencakup berbagai strategi, dari advokasi hukum hingga pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
Vebriani, Imel, dan Regina berperan aktif dalam kampanye pelestarian hutan mereka. Mereka tidak hanya berbicara tentang pentingnya hutan untuk kehidupan mereka tetapi juga mempromosikan model pengelolaan hutan yang berbasis pada pengetahuan lokal dan praktek adat. Ini termasuk penggunaan teknik agroforestry yang berkelanjutan, di mana tanaman produktif seperti buah-buahan dan sayuran ditanam bersama dengan pohon-pohon hutan, menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan antara kebutuhan manusia dan lingkungan (Berkes et al., 2000).
Keseimbangan antara Pengembangan dan Pelestarian
Dalam menyikapi perkembangan industri sawit, perlu ada keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Model pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berbasis pada hak-hak masyarakat adat dapat menjadi solusi untuk menghadapi tantangan ini. Hal ini mencakup perlunya pengakuan hak atas tanah dan hutan bagi masyarakat adat, serta pengembangan kebijakan yang mendukung konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Hutan Adat Lembah Grime Nawa adalah contoh nyata dari pentingnya mempertimbangkan aspek budaya dan lingkungan dalam setiap keputusan pembangunan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, diharapkan masa depan yang berkelanjutan dan harmonis dapat terwujud. Seperti yang diungkapkan oleh Vebriani, Imel, dan Regina, Hutan kami adalah warisan kami. Melindunginya adalah melindungi masa depan kami.
Referensi
- Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (2000). Rediscovery of traditional ecological knowledge as adaptive management. Ecological Applications, 10(5), 1251-1262.
- Colchester, M. (2002). Stemming the Tide: Recognizing Indigenous Rights and Curbing Land Alienation. Forest Peoples Programme.
- Gadgil, M., Berkes, F., & Folke, C. (1993). Indigenous knowledge for biodiversity conservation. Ambio, 22(2-3), 151-156.
- Houghton, R. A. (2005). Aboveground forest biomass and the global carbon balance. Global Change Biology, 11(6), 945-958.
- Laurance, W. F., Sayer, J., & Cassman, K. G. (2014). Agricultural expansion and its impacts on tropical biodiversity. Trends in Ecology & Evolution, 29(8), 107-116.